Konflik di Sudan tidak hanya berkutat antara SAF dan RSF, melainkan juga membuka babak baru dalam diplomasi Afrika. Pertarungan dua kubu militer ini ternyata menarik perhatian banyak negara di sekitarnya, termasuk Ethiopia dan Sudan Selatan, yang sering dituduh memiliki kedekatan tertentu dengan RSF. Situasi ini kian mempersulit upaya perdamaian karena perbedaan sikap antara dukungan resmi, peran tidak langsung, dan kepentingan nasional masing-masing negara.
Ethiopia, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Abiy Ahmed, berulang kali menegaskan posisinya sebagai negara netral. Addis Ababa mengklaim hanya ingin mendorong perdamaian dan stabilitas kawasan. Namun, sejumlah perkembangan memperlihatkan bahwa netralitas itu tidak sepenuhnya steril dari kepentingan politik.
Pemerintah Ethiopia pernah menerima kunjungan pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, dalam sebuah lawatan langka ke luar negeri. Kehadiran itu menimbulkan pertanyaan besar: apakah Ethiopia sekadar membuka ruang diplomasi atau diam-diam memberi legitimasi politik kepada RSF. Banyak pengamat menilai, langkah itu sulit dipisahkan dari hubungan erat Ethiopia dengan Uni Emirat Arab yang diketahui menjadi salah satu pendukung utama RSF.
Selain faktor diplomasi, Ethiopia juga terhubung dengan Sudan melalui urusan perbatasan dan perdagangan, termasuk jalur ekonomi di wilayah aliran Sungai Nil. Ketegangan perbatasan dengan Khartoum serta isu Bendungan GERD membuat Addis Ababa lebih berhitung dalam menentukan sikap terhadap SAF maupun RSF. Dengan demikian, apa yang disebut “netralitas” Ethiopia sebenarnya sarat dengan kalkulasi strategis.
Di sisi lain, Sudan Selatan juga mengambil posisi resmi sebagai penengah. Juba mengklaim tidak berpihak dan justru aktif dalam forum IGAD serta Uni Afrika untuk mendorong tercapainya perundingan damai. Namun, di balik layar, laporan PBB dan berbagai lembaga independen menyebut adanya aktivitas logistik RSF yang menggunakan wilayah Sudan Selatan sebagai jalur pasokan.
Bahan bakar dan suplai senjata disebut masuk ke Darfur melalui perbatasan Sudan Selatan. Informasi ini tidak selalu melibatkan pemerintah pusat, melainkan lebih sering dikaitkan dengan peran individu atau oknum aparat lokal yang mendapat keuntungan dari perdagangan gelap. Kondisi tersebut menimbulkan dilema: pemerintah Sudan Selatan berusaha menjaga citra netral, tetapi realitas di lapangan justru menunjukkan adanya celah yang dimanfaatkan RSF.
Situasi menjadi semakin rumit ketika dikaitkan dengan posisi Sudan Selatan yang sangat bergantung pada jalur minyak mentah. Minyak dari Sudan Selatan harus melewati wilayah Sudan sebelum diekspor, sehingga pemerintah Juba tidak ingin merusak hubungan dengan salah satu pihak. Netralitas resmi dipertahankan demi kelangsungan ekonomi, meski fakta lapangan menunjukkan keterlibatan tak langsung dalam memperkuat RSF.
Hubungan lintas batas antara Sudan Selatan dan RSF juga berpotensi memicu ketidakstabilan baru. Jika keterlibatan individu tidak dikendalikan, Juba bisa kehilangan kendali terhadap perbatasan dan terjerumus dalam konflik yang lebih luas. Hal ini membuat Sudan Selatan berada dalam posisi serba salah.
Dari sudut pandang geopolitik, baik Ethiopia maupun Sudan Selatan memainkan peran ganda. Di satu sisi, mereka ingin tampil sebagai mediator di hadapan komunitas internasional. Di sisi lain, ada tekanan ekonomi, politik, dan keamanan yang membuat keduanya sulit benar-benar netral.
Kontradiksi itu terlihat jelas saat Ethiopia menegaskan komitmen pada perdamaian, tetapi tetap membuka pintu diplomasi bagi Hemedti. Begitu pula Sudan Selatan yang menolak disebut berpihak, namun perbatasannya menjadi jalur penting bagi suplai RSF. Dua kondisi ini memperlihatkan wajah diplomasi Afrika yang kompleks dan penuh lapisan kepentingan.
Dalam konteks regional, dukungan tidak resmi atau parsial terhadap RSF ini juga memunculkan kecurigaan dari SAF dan sekutunya. Mesir, misalnya, yang menjadi pendukung kuat SAF, memandang condongnya Ethiopia atau Sudan Selatan kepada RSF sebagai ancaman terselubung. Situasi ini berpotensi memperluas lingkaran konflik di luar Sudan itu sendiri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa RSF mendapat keuntungan dari relasi tidak formal tersebut. Dukungan logistik, jalur pasokan, hingga ruang diplomatik membantu mereka tetap bertahan dalam menghadapi SAF yang lebih terstruktur secara kelembagaan. Dengan kata lain, keberlangsungan perang di Sudan turut ditentukan oleh faktor eksternal di kawasan.
Keterlibatan Ethiopia dan Sudan Selatan, meski tidak terang-terangan, menunjukkan betapa rapuhnya tatanan politik Afrika Timur. Setiap negara memiliki kepentingan nasional yang seringkali tidak sejalan dengan upaya perdamaian kolektif. Netralitas pun akhirnya menjadi konsep yang cair, mudah disesuaikan dengan kebutuhan pragmatis.
Jika Ethiopia benar-benar ingin berperan sebagai penengah, konsistensi diperlukan agar tidak ditafsirkan sebagai dukungan terselubung. Demikian pula Sudan Selatan perlu mengendalikan aparatnya agar jalur suplai ilegal tidak memperburuk citra resmi mereka sebagai mediator. Tanpa langkah ini, klaim netralitas akan semakin sulit dipercaya.
Konflik Sudan sendiri sudah menimbulkan krisis kemanusiaan besar dengan jutaan pengungsi dan ribuan korban jiwa. Dukungan terselubung dari negara tetangga hanya akan memperpanjang penderitaan warga sipil. Inilah sebabnya peran Ethiopia dan Sudan Selatan sangat menentukan arah perang, meski mereka mengaku tidak ikut campur.
Komunitas internasional kini mulai menyoroti peran negara-negara tetangga. PBB dan Uni Afrika diminta menekan Ethiopia serta Sudan Selatan agar konsisten dalam sikap dan benar-benar bertindak sebagai mediator. Tanpa itu, proses perdamaian akan terus menemui jalan buntu.
Kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik domestik sering membuat negara tetangga terjebak dalam dukungan diam-diam. RSF memanfaatkan kondisi ini dengan cerdik untuk memperpanjang daya tahannya. Maka tidak mengherankan jika konflik sulit dihentikan meski sudah banyak perundingan dilakukan.
Akhirnya, baik Ethiopia maupun Sudan Selatan dihadapkan pada pilihan sulit: tetap bermain di area abu-abu atau berani mengambil sikap jelas. Kedua opsi ini memiliki risiko, tetapi ketidakjelasan justru semakin membahayakan stabilitas kawasan.
Dengan segala kontradiksi itu, konflik Sudan bukan lagi sekadar perang internal. Ia telah menjadi cermin dari tarik-menarik kepentingan regional, di mana netralitas hanyalah kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan secara nyata.
About Admin2
Blog ini dibuat oleh Ketua PMPS periode ketiga secara pribadi untuk silaturrahmi. Usai pergantian kepengurusan,blog dipertahankan sebagai media bagi mempererat dan menyimpan memori yang baik.
0 comments:
Post a Comment