Powered by Blogger.

6/27/2025

Goma di Ambang Menjadi Ibu Kota Oposisi Kongo

Ketegangan di Republik Demokratik Kongo kembali memanas setelah kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan pemberontak M23, didukung Rwanda, terus memperluas pengaruhnya di wilayah timur negara itu. Kawasan North Kivu dan South Kivu kini berada dalam situasi darurat setelah para pemberontak berhasil menguasai sejumlah kota penting, termasuk Goma dan Bukavu. Situasi ini dilaporkan langsung oleh Kepala Misi Stabilisasi PBB di Kongo (MONUSCO), Bintou Keita, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di New York pekan ini.

Keita menjelaskan bahwa pemberontak tak hanya merebut wilayah, tetapi juga berupaya mendirikan pemerintahan tandingan. Beberapa pekan terakhir, kelompok itu menunjuk gubernur dan dua wakil gubernur di Bukavu, sekaligus menempatkan pejabat keuangan dan pertambangan di North Kivu. Hal ini menunjukkan ambisi serius pemberontak untuk mengelola kawasan secara otonom, memisahkan diri dari pemerintah pusat di Kinshasa.

MONUSCO, yang hadir di Kongo sejak 2010 dengan mandat melindungi warga sipil dan mendukung pemerintah mengatasi ancaman kelompok bersenjata, tengah menghadapi dilema pelik. Sebelumnya, pemerintah Kongo sempat meminta penarikan pasukan MONUSCO dari South Kivu pada Juni 2024, namun kini malah memohon perpanjangan mandat hingga akhir 2025 akibat eskalasi konflik.

Meski upaya perdamaian terus dijalankan, realita di lapangan berkata lain. Pemberontak M23, yang mengklaim membela kepentingan etnis Tutsi Kongo dan didukung militer Rwanda, berhasil merebut banyak wilayah strategis. Mereka bahkan membentuk struktur administrasi dan sistem perpajakan tersendiri, meniru pola lama saat Second Congo War di awal 2000-an.

Situasi di Goma saat ini bahkan disebut-sebut sebagai cikal bakal ibu kota negara tandingan. Pidato-pidato publik para pemimpin pemberontak menyerukan pemutusan total dengan pemerintah pusat yang mereka tuding dipenuhi praktik nepotisme dan penindasan. Mereka menggaungkan wacana pemerintahan patriotik berbasis rakyat bersenjata.

Ini bukan kali pertama pola seperti ini terjadi di Kongo. Saat perang saudara sebelumnya, Goma sempat menjadi pusat kekuasaan kelompok RCD yang juga didukung Rwanda. Kala itu, mereka membentuk institusi sendiri, menarik pajak, dan menjalankan pemerintahan tanpa restu Kinshasa. Kini, pola itu terulang, dengan nuansa lebih terstruktur dan ambisius.

Perbedaan utamanya, kali ini mantan Presiden Joseph Kabila diduga menjadi dalang di balik bangkitnya kekuatan pemberontak di timur. Setelah kehilangan kekebalan politik dan menghadapi ancaman dakwaan pengkhianatan serta kejahatan perang, Kabila disebut-sebut menjadikan Goma sebagai benteng perlindungan politik dan militernya.

Tradisi di Kongo memang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaan bersenjata kerap menjadi tempat berlindung bagi tokoh politik yang terjerat masalah hukum. Sejarah mencatat bagaimana Jean-Pierre Bemba dan Bosco Ntaganda pernah berlindung di zona militer sebelum akhirnya menyerah atau ditangkap. Kini, Kabila tampaknya mengikuti jejak serupa, memanfaatkan lemahnya kontrol pemerintah pusat di wilayah timur.

Posisinya di Goma membuat upaya penangkapan Kabila sangat berisiko memicu perang terbuka. Ia secara efektif menggunakan ketidakberdayaan negara untuk melindungi dirinya dari hukum yang seharusnya mengadilinya. Ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas nasional dan kredibilitas pemerintahan Presiden Félix Tshisekedi.

Kabila bahkan mulai tampil kembali ke publik sebagai pemimpin gerakan pembebasan, menggema kembali retorika revolusioner ayahnya yang dulu merebut kekuasaan lewat jalur bersenjata. Dengan menyatukan kekuatan bersama M23, yang kini menamai dirinya "tentara rakyat", Kabila berupaya membangun legitimasi politik di wilayah kekuasaan pemberontak.

Konflik ini pun bukan lagi sekadar perebutan wilayah, tetapi pertempuran dua legitimasi kekuasaan: pemerintahan Kinshasa yang lemah pasca-2018 dan pemerintahan tandingan di timur yang mengandalkan senjata. Kedua kubu kini sama-sama memproklamasikan diri sebagai wakil sah rakyat Kongo, memicu ancaman perpecahan negara.

Bergesernya Kabila ke kubu pemberontak sekaligus memperlihatkan kegagalan total transisi politik di Kongo pasca-2018. Koalisi rapuh antara Kabila dan Tshisekedi yang pernah menjanjikan stabilitas nasional kini telah runtuh, menyisakan kekacauan politik yang dimanfaatkan kelompok-kelompok bersenjata.

Lebih dari sekadar ancaman keamanan, situasi ini mengancam fondasi negara Kongo sebagai sebuah republik yang utuh. Bila Goma benar-benar bertransformasi menjadi ibu kota pemerintahan pemberontak, bukan tidak mungkin Kongo akan kembali ke era negara-negara mini bersenjata di awal 2000-an, yang pernah memecah belah wilayahnya.

Para analis menilai, jika komunitas internasional, khususnya PBB dan Uni Afrika, tidak segera mengambil langkah tegas, Kongo berpotensi kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah timurnya. Hal ini juga dikhawatirkan membuka jalan bagi aktor-aktor eksternal seperti Rwanda untuk memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut.

Krisis di Kongo kini memasuki babak baru. Bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan duel perebutan kedaulatan. Dengan M23 dan kelompok afiliasinya yang semakin agresif membangun institusi dan Kabila yang kembali muncul sebagai figur sentral, situasi di timur Kongo diprediksi akan terus memburuk dalam waktu dekat.

Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya negara-negara di kawasan Great Lakes Afrika, di mana kekuasaan sering kali ditentukan oleh kekuatan senjata, bukan melalui pemilu atau konstitusi. Kini, mata dunia tertuju ke Goma — kota yang terancam menjadi ibu kota negara tandingan di jantung Afrika.


Published: By: Admin2 - 6/27/2025

6/22/2025

Ini Daftar Negara yang Pernah Diserang Instalasi Nuklirnya

Serangan Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordo, dan Isfahan menandai kelanjutan dari tradisi panjang penghancuran instalasi nuklir oleh kekuatan besar. Dalam sejarah modern, ini bukan kali pertama infrastruktur nuklir negara-negara berkembang diserang. Sebelumnya, sejumlah fasilitas nuklir penting di Timur Tengah telah menjadi sasaran serangan militer langsung, yang menggambarkan betapa sensitif dan strategisnya pengembangan energi nuklir di kawasan konflik.

Yang paling terkenal adalah Operasi Opera pada tahun 1981, ketika Israel menyerang reaktor nuklir Osirak milik Irak dengan jet F-16 dan F-15. Serangan itu dilakukan sebelum reaktor mulai beroperasi penuh, dengan tujuan mencegah Saddam Hussein mengembangkan senjata nuklir. Serangan itu menuai kecaman internasional tetapi dianggap berhasil secara strategis oleh Israel dan sekutunya.

Pada tahun 2007, Israel kembali melakukan serangan serupa dalam Operasi Orchard, kali ini menargetkan fasilitas nuklir rahasia di Deir ez-Zor, Suriah. Reaktor tersebut diduga dirancang dengan bantuan Korea Utara dan berada dalam tahap konstruksi. Serangan itu dilakukan secara diam-diam dan baru dikonfirmasi beberapa tahun kemudian oleh pihak intelijen Barat dan IAEA.

Iran sendiri sebelumnya juga pernah menjadi sasaran sabotase siber dan fisik terhadap program nuklirnya. Pada tahun 2010, virus Stuxnet yang dikembangkan oleh AS dan Israel merusak ribuan sentrifugal di Natanz. Sejak saat itu, sejumlah insiden misterius seperti kebakaran, ledakan, dan pembunuhan ilmuwan nuklir terjadi, termasuk pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh pada 2020 yang diduga kuat dilakukan oleh Mossad.

Selain Irak, Suriah, dan Iran, ada juga laporan mengenai sabotase program nuklir Libya pada awal 2000-an. Meski tidak melalui serangan langsung, tekanan dan pengawasan intelijen internasional membuat Libya akhirnya menyerahkan seluruh program nuklirnya secara sukarela pada tahun 2003. Di Afrika Selatan, program senjata nuklir juga dihentikan secara sepihak oleh pemerintah pasca-apartheid, tetapi dalam suasana damai dan bukan karena intervensi militer.

Fasilitas nuklir lain yang mendapat tekanan militer atau pengawasan ketat termasuk Yongbyon di Korea Utara, yang sempat ditargetkan dalam rencana serangan AS sebelum krisis diplomatik mereda. Pakistan dan India juga terus berada dalam radar pengawasan, meski keduanya sudah menjadi negara nuklir de facto. Namun belum pernah ada serangan langsung ke fasilitas mereka karena pertimbangan dampak strategis yang lebih luas.

Serangan terbaru ke Natanz, Fordo, dan Isfahan tampaknya dilakukan dengan kombinasi rudal jelajah, drone kamikaze, dan bantuan intelijen dari mitra regional oleh Israel dan kemudian oleh AS. 

Sebagai respons, pemerintah Iran menyebut aksi militer terhadap semumlah fasilitas nuklirnya sebagai penghianatan diplomatik, pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara dan hak Iran atas teknologi nuklir sipil. Mereka menyatakan bahwa serangan ini menghapus seluruh kredibilitas sistem non-proliferasi internasional, terutama karena dilakukan tanpa resolusi Dewan Keamanan PBB. Teheran kini dihadapkan dengan mempertimbangkan opsi keluar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) atau opsi diam.

Pilihan sulit ini bisa saja akan membawa Iran ke jalur yang ditempuh Korea Utara pada 2003, yang keluar dari NPT setelah menuding AS melanggar kesepakatan kerjasama energi. Korea Utara kemudian mengusir seluruh inspektur IAEA dan melanjutkan program nuklirnya secara tertutup. Tiga tahun kemudian, Pyongyang menguji coba bom nuklir pertamanya, mengubah peta keamanan Asia Timur secara drastis.

Jika Iran meniru jalur ini, maka komunitas internasional akan kehilangan akses penuh terhadap aktivitas nuklirnya. Seluruh sistem pengawasan IAEA akan dihentikan, dan Teheran akan memiliki kebebasan untuk memperkaya uranium hingga ke tingkat senjata tanpa pengawasan eksternal. Dengan kemampuan teknologi yang dimiliki saat ini, Iran dapat mempercepat langkah menuju pengembangan senjata nuklir dalam hitungan bulan, bukan tahun.

Ketegangan dengan Israel akan meningkat tajam. Israel telah berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir, dan jika perlu, akan melakukan tindakan militer lebih lanjut untuk menggagalkan ambisi tersebut. Skenario konflik regional besar-besaran terbuka lebar, meskipun Iran akan memilih bungkam.

Published: By: Admin2 - 6/22/2025

5/07/2025

Ketika Eropa tak Mau Lagi Bergantung ke Perlindungan Keamanan dari AS


Pernyataan Perdana Menteri Polandia, Donald Tusk, pada awal Maret lalu kembali menggugah kesadaran akan urgensi kemandirian pertahanan Eropa. Dalam pidatonya, Tusk menyebut bahwa sangat tidak masuk akal apabila 500 juta warga Eropa masih harus bergantung pada 300 juta warga Amerika untuk perlindungan dari 140 juta warga Rusia. Ungkapan itu bukan sekadar kritik, melainkan seruan tegas agar Eropa bangkit dari ketergantungan historis terhadap Amerika Serikat dalam soal keamanan.

Sejak akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat telah menjadi penjamin utama keamanan Eropa melalui NATO. Namun, realitas geopolitik saat ini menuntut pendekatan baru. Ketergantungan yang terus berlanjut terhadap perlindungan Amerika bukan hanya membuat Eropa rentan secara strategis, tapi juga secara politis. Apalagi, wacana Donald Trump untuk menarik diri dari NATO atau mengaitkan pertahanan sekutu dengan kepentingan perdagangan domestik menambah ketidakpastian tersebut.

Tusk menyampaikan fakta yang sulit dibantah: secara demografi dan potensi militer, Eropa jauh lebih unggul dibanding Rusia. Negara-negara Uni Eropa ditambah Inggris dan Norwegia memiliki populasi gabungan lebih dari 500 juta jiwa. Bila digabungkan dengan Turki, Ukraina, dan Kanada, angka itu hampir mencapai 700 juta. Ini adalah kekuatan yang sangat besar, baik dalam jumlah maupun potensi.

Dari sisi personel militer, kawasan tersebut memiliki sekitar tiga juta tentara aktif dan 1–1,5 juta pasukan cadangan. Ini berarti bahwa secara matematis, Eropa tidak memiliki alasan untuk merasa gentar terhadap ancaman militer Rusia. Namun, keunggulan jumlah bukan satu-satunya penentu kemenangan. Yang dibutuhkan Eropa kini adalah koordinasi strategis, keberanian politik, dan investasi nyata di sektor pertahanan.

Ketimpangan ini juga mencerminkan krisis kepemimpinan dan kurangnya visi jangka panjang di antara negara-negara Eropa. Selama bertahun-tahun, banyak negara lebih fokus pada pembangunan sosial dan ekonomi domestik sambil menyerahkan urusan keamanan kepada Washington. Padahal, dalam dunia multipolar saat ini, kekuatan militer adalah bagian integral dari kedaulatan dan posisi tawar internasional.

Dalam situasi global yang semakin tidak stabil, Eropa tak bisa lagi bersembunyi di balik payung Amerika. Invasi Rusia ke Ukraina telah membuktikan bahwa ancaman terhadap kedaulatan suatu negara bukanlah bayang-bayang masa lalu. Ancaman tersebut nyata dan bisa menyasar negara mana pun, terutama di perbatasan timur benua.

Bahkan, jika AS memutuskan untuk tetap bertahan di NATO, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk stagnasi Eropa dalam penguatan militernya. Ketergantungan adalah kelemahan, dan dalam konteks geopolitik, kelemahan bisa memicu agresi. Eropa harus menata ulang struktur pertahanannya, memperkuat industri pertahanan lokal, dan mengembangkan sistem komando yang independen.

Langkah ini tidak berarti memusuhi Amerika, melainkan memperkuat kemitraan transatlantik dengan posisi yang lebih seimbang. Dalam hubungan internasional, mitra sejati adalah mereka yang mampu berdiri sendiri, bukan yang terus bergantung. Kepercayaan Amerika terhadap Eropa justru akan meningkat jika Eropa menunjukkan kemampuan mempertahankan dirinya sendiri.

Momentum untuk berubah kini ada. Seruan Donald Tusk adalah alarm yang tak bisa lagi diabaikan. Negara-negara besar seperti Jerman, Prancis, dan Italia harus memimpin upaya ini. Investasi dalam alutsista, teknologi pertahanan, dan sistem peringatan dini harus dipercepat dan diprioritaskan dalam anggaran negara.

Masalahnya bukan sekadar pada jumlah pasukan atau anggaran, tetapi juga soal mentalitas. Eropa harus keluar dari paradigma pasif dan menunjukkan bahwa mereka bukan hanya penerima keamanan, tapi juga penyedia keamanan bagi dunia. Ini penting tidak hanya untuk keamanan internal, tetapi juga untuk stabilitas global.

Kerja sama dalam kerangka Uni Eropa harus diperluas ke ranah militer secara konkret. Pembentukan pasukan reaksi cepat Eropa adalah langkah awal, tetapi harus diikuti oleh integrasi sistem komando dan logistik. Kebijakan luar negeri dan pertahanan bersama juga harus disusun lebih tegas dan terkoordinasi.

Ujian kemandirian Eropa akan terus datang, baik dalam bentuk krisis energi, migrasi, maupun konflik bersenjata. Ketangguhan menghadapi semua itu bergantung pada seberapa siap Eropa berdiri di atas kakinya sendiri. Tak ada lagi ruang untuk bergantung pada keputusan di Gedung Putih atau Kongres AS.

Kesadaran geopolitik harus menembus hingga ke masyarakat sipil. Warga Eropa harus tahu bahwa pertahanan bukan hanya urusan militer, tetapi juga fondasi dari semua kebebasan dan kemakmuran yang mereka nikmati hari ini. Partisipasi politik, dukungan anggaran, dan kesediaan berkorban adalah bagian dari harga kedaulatan.

Penguatan sektor pertahanan juga akan berdampak positif bagi industri dalam negeri. Dengan mengembangkan teknologi militer sendiri, Eropa tidak hanya mengurangi ketergantungan pada pihak luar, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan kemajuan teknologi yang bisa berdampak pada sektor sipil.

Perubahan ini tentu tidak mudah dan tidak bisa instan. Namun, semakin lama Eropa menunda, semakin besar pula risiko yang harus ditanggung. Dunia pasca-pandemi dan pasca-Ukraina adalah dunia yang berbeda, dunia yang menuntut kesiapan militer sebagai bagian dari eksistensi.

Donald Tusk telah melempar bola ke lapangan Eropa. Kini tinggal bagaimana para pemimpin benua menanggapinya. Apakah mereka akan terus menggantungkan nasib pada pemilu Amerika, atau mulai menulis ulang masa depan pertahanan Eropa dengan tangan mereka sendiri?

Sejarah tidak selalu berpihak pada yang kuat secara ekonomi atau budaya. Ia berpihak pada mereka yang siap bertindak ketika momen menuntut keberanian. Dan momen itu, bagi Eropa, adalah sekarang.

Apakah ini akan menjadi era kebangkitan pertahanan Eropa, atau hanya satu babak retorika tanpa aksi? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan benua ini dalam dekade-dekade mendatang.


Baca selanjutnya

Published: By: Admin2 - 5/07/2025

4/15/2025

Warisan Leluhur Mendunia: Naskah Kuno dan Karya Pujangga Diakui UNESCO

Paris, Prancis – Kabar gembira menghampiri khazanah intelektual dan budaya Indonesia. Dewan Eksekutif Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) secara resmi menetapkan dua warisan berharga Nusantara, yakni naskah Sunda kuno Sang Hyang Siksa Kandang Karesian dan karya-karya monumental dari pujangga besar Hamzah Fansuri, sebagai bagian dari 74 nominasi yang akan diinskripsi dalam register Memory of the World (MoW) periode 2024-2025.

Keputusan bersejarah ini diumumkan dalam Sidang Dewan Eksekutif UNESCO ke-221 yang berlangsung di Paris, Prancis, pada hari Jumat (11/4), sebagaimana dilansir dari laporan Antara pada Senin (14/4).

Penetapan kedua warisan budaya tak ternilai ini merupakan hasil dari penilaian cermat yang dilakukan oleh International Advisory Committee (IAC) MoW UNESCO, yang mengakui signifikansi universal dan nilai luar biasa yang terkandung di dalamnya. Langkah ini menjadi pengakuan dunia atas kekayaan intelektual dan jejak peradaban yang ditinggalkan oleh para leluhur bangsa Indonesia.

Naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, sebuah manuskrip kuno berbahasa Sunda yang diperkirakan berasal dari abad ke-16, kini tersimpan dengan aman di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor registrasi L 630. Lebih dari sekadar artefak sejarah, naskah ini dipandang memiliki signifikansi universal karena memuat ajaran-ajaran moral luhur yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Sunda pada masanya. Nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan etika sosial yang tertuang dalam naskah ini diyakini relevan dan abadi, melampaui batas ruang dan waktu.

Judul naskah itu sendiri, Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, yang dapat diartikan sebagai "Ajaran Suci bagi Masyarakat dari Kalangan Resi," mengisyaratkan kedalaman filosofis dan kearifan yang terkandung di dalamnya. Naskah ini menjadi jendela bagi kita untuk memahami pandangan dunia, nilai-nilai budaya, dan sistem kepercayaan masyarakat Sunda pada masa lampau. Pengakuan UNESCO terhadap naskah ini tidak hanya menghargai nilai historisnya, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya pelestarian dan pemahaman terhadap warisan intelektual bangsa.

Selain naskah kuno dari Tatar Sunda, UNESCO juga memberikan penghormatan kepada karya-karya agung dari Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi dan pujangga Melayu yang hidup pada abad ke-16 dan ke-17. Karya-karya Hamzah Fansuri dikenal karena kedalaman spiritualitasnya, keindahan bahasa Melayu klasik yang digunakannya, serta pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan sastra dan pemikiran Islam di Nusantara.

Puisi-puisi dan prosa yang dihasilkan oleh Hamzah Fansuri tidak hanya mengungkapkan pengalaman mistis dan pemahaman teologis yang mendalam, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya dan kosmologi masyarakat Melayu pada zamannya. Karya-karyanya menjadi jembatan penghubung antara tradisi sufisme Islam dengan kearifan lokal, menghasilkan sebuah sintesis pemikiran yang unik dan berharga.

Masuknya naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian dan karya-karya Hamzah Fansuri dalam nominasi register Memory of the World UNESCO merupakan sebuah kebanggaan besar bagi bangsa Indonesia. Pengakuan ini tidak hanya meningkatkan citra Indonesia di mata dunia, tetapi juga memotivasi upaya pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya yang adiluhung ini untuk generasi mendatang.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sebagai lembaga yang menyimpan dan melestarikan naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, memainkan peran penting dalam proses nominasi ini. Upaya mereka dalam menjaga dan mendokumentasikan warisan intelektual bangsa patut diapresiasi. Penetapan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian naskah-naskah kuno dan karya-karya sastra klasik sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan sejarah bangsa.

Langkah selanjutnya adalah menunggu pengumuman resmi dari UNESCO mengenai inskripsi naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian dan karya-karya Hamzah Fansuri ke dalam register Memory of the World. Jika berhasil diinskripsi, kedua warisan ini akan bergabung dengan koleksi dokumen dan arsip penting dunia lainnya yang diakui memiliki nilai universal luar biasa.
Keberhasilan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk lebih menggali, melestarikan, dan mempromosikan kekayaan warisan budaya Indonesia lainnya. Masih banyak lagi naskah-naskah kuno dan karya-karya sastra klasik yang menyimpan kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang patut untuk diangkat dan diakui oleh dunia.

Pengakuan UNESCO ini juga diharapkan dapat mendorong penelitian lebih lanjut terhadap naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian dan karya-karya Hamzah Fansuri, sehingga kandungan intelektual dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dan dihayati oleh generasi kini dan mendatang. Ini adalah kesempatan emas untuk merefleksikan kembali akar budaya dan spiritualitas bangsa, serta mengambil pelajaran berharga dari kearifan para leluhur.

Lebih dari sekadar pengakuan simbolis, masuknya warisan Indonesia dalam nominasi Memory of the World UNESCO memiliki implikasi yang lebih luas. Hal ini dapat membuka peluang untuk kerjasama internasional dalam bidang pelestarian warisan budaya, pertukaran pengetahuan, dan promosi pariwisata budaya.

Kisah sukses nominasi ini juga menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk terus berupaya melestarikan dan mempromosikan warisan budaya mereka. Memory of the World merupakan program penting UNESCO yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan dokumenter dunia sebagai bagian dari memori kolektif umat manusia.

Dengan ditetapkannya naskah Sunda kuno dan karya pujangga Melayu ini dalam daftar nominasi, Indonesia sekali lagi menunjukkan kepada dunia kekayaan dan keragaman warisan budayanya. Ini adalah momentum yang tepat untuk memperkuat rasa bangga terhadap identitas nasional dan terus berupaya melestarikan warisan luhur ini agar tetap lestari dan dapat diwariskan kepada generasi penerus bangsa.

Penantian akan pengumuman resmi dari UNESCO tentu akan dipenuhi dengan harapan dan kebanggaan. Apapun hasilnya nanti, masuknya naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian dan karya-karya Hamzah Fansuri dalam nominasi Memory of the World telah menjadi sebuah pencapaian yang membanggakan dan sebuah langkah maju dalam upaya pelestarian warisan budaya Indonesia di kancah internasional.

Semoga langkah bersejarah ini akan semakin membuka mata dunia terhadap kekayaan intelektual dan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, serta mendorong upaya pelestarian yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Warisan leluhur adalah cerminan jati diri bangsa, dan pengakuan dunia adalah motivasi untuk terus menjaganya dengan sepenuh hati.

Dibuat oleh AI, lihat info lain
Published: By: Admin2 - 4/15/2025
 

Ads