Powered by Blogger.

6/27/2025

Tag:

Goma di Ambang Menjadi Ibu Kota Oposisi Kongo

Ketegangan di Republik Demokratik Kongo kembali memanas setelah kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan pemberontak M23, didukung Rwanda, terus memperluas pengaruhnya di wilayah timur negara itu. Kawasan North Kivu dan South Kivu kini berada dalam situasi darurat setelah para pemberontak berhasil menguasai sejumlah kota penting, termasuk Goma dan Bukavu. Situasi ini dilaporkan langsung oleh Kepala Misi Stabilisasi PBB di Kongo (MONUSCO), Bintou Keita, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di New York pekan ini.

Keita menjelaskan bahwa pemberontak tak hanya merebut wilayah, tetapi juga berupaya mendirikan pemerintahan tandingan. Beberapa pekan terakhir, kelompok itu menunjuk gubernur dan dua wakil gubernur di Bukavu, sekaligus menempatkan pejabat keuangan dan pertambangan di North Kivu. Hal ini menunjukkan ambisi serius pemberontak untuk mengelola kawasan secara otonom, memisahkan diri dari pemerintah pusat di Kinshasa.

MONUSCO, yang hadir di Kongo sejak 2010 dengan mandat melindungi warga sipil dan mendukung pemerintah mengatasi ancaman kelompok bersenjata, tengah menghadapi dilema pelik. Sebelumnya, pemerintah Kongo sempat meminta penarikan pasukan MONUSCO dari South Kivu pada Juni 2024, namun kini malah memohon perpanjangan mandat hingga akhir 2025 akibat eskalasi konflik.

Meski upaya perdamaian terus dijalankan, realita di lapangan berkata lain. Pemberontak M23, yang mengklaim membela kepentingan etnis Tutsi Kongo dan didukung militer Rwanda, berhasil merebut banyak wilayah strategis. Mereka bahkan membentuk struktur administrasi dan sistem perpajakan tersendiri, meniru pola lama saat Second Congo War di awal 2000-an.

Situasi di Goma saat ini bahkan disebut-sebut sebagai cikal bakal ibu kota negara tandingan. Pidato-pidato publik para pemimpin pemberontak menyerukan pemutusan total dengan pemerintah pusat yang mereka tuding dipenuhi praktik nepotisme dan penindasan. Mereka menggaungkan wacana pemerintahan patriotik berbasis rakyat bersenjata.

Ini bukan kali pertama pola seperti ini terjadi di Kongo. Saat perang saudara sebelumnya, Goma sempat menjadi pusat kekuasaan kelompok RCD yang juga didukung Rwanda. Kala itu, mereka membentuk institusi sendiri, menarik pajak, dan menjalankan pemerintahan tanpa restu Kinshasa. Kini, pola itu terulang, dengan nuansa lebih terstruktur dan ambisius.

Perbedaan utamanya, kali ini mantan Presiden Joseph Kabila diduga menjadi dalang di balik bangkitnya kekuatan pemberontak di timur. Setelah kehilangan kekebalan politik dan menghadapi ancaman dakwaan pengkhianatan serta kejahatan perang, Kabila disebut-sebut menjadikan Goma sebagai benteng perlindungan politik dan militernya.

Tradisi di Kongo memang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaan bersenjata kerap menjadi tempat berlindung bagi tokoh politik yang terjerat masalah hukum. Sejarah mencatat bagaimana Jean-Pierre Bemba dan Bosco Ntaganda pernah berlindung di zona militer sebelum akhirnya menyerah atau ditangkap. Kini, Kabila tampaknya mengikuti jejak serupa, memanfaatkan lemahnya kontrol pemerintah pusat di wilayah timur.

Posisinya di Goma membuat upaya penangkapan Kabila sangat berisiko memicu perang terbuka. Ia secara efektif menggunakan ketidakberdayaan negara untuk melindungi dirinya dari hukum yang seharusnya mengadilinya. Ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas nasional dan kredibilitas pemerintahan Presiden Félix Tshisekedi.

Kabila bahkan mulai tampil kembali ke publik sebagai pemimpin gerakan pembebasan, menggema kembali retorika revolusioner ayahnya yang dulu merebut kekuasaan lewat jalur bersenjata. Dengan menyatukan kekuatan bersama M23, yang kini menamai dirinya "tentara rakyat", Kabila berupaya membangun legitimasi politik di wilayah kekuasaan pemberontak.

Konflik ini pun bukan lagi sekadar perebutan wilayah, tetapi pertempuran dua legitimasi kekuasaan: pemerintahan Kinshasa yang lemah pasca-2018 dan pemerintahan tandingan di timur yang mengandalkan senjata. Kedua kubu kini sama-sama memproklamasikan diri sebagai wakil sah rakyat Kongo, memicu ancaman perpecahan negara.

Bergesernya Kabila ke kubu pemberontak sekaligus memperlihatkan kegagalan total transisi politik di Kongo pasca-2018. Koalisi rapuh antara Kabila dan Tshisekedi yang pernah menjanjikan stabilitas nasional kini telah runtuh, menyisakan kekacauan politik yang dimanfaatkan kelompok-kelompok bersenjata.

Lebih dari sekadar ancaman keamanan, situasi ini mengancam fondasi negara Kongo sebagai sebuah republik yang utuh. Bila Goma benar-benar bertransformasi menjadi ibu kota pemerintahan pemberontak, bukan tidak mungkin Kongo akan kembali ke era negara-negara mini bersenjata di awal 2000-an, yang pernah memecah belah wilayahnya.

Para analis menilai, jika komunitas internasional, khususnya PBB dan Uni Afrika, tidak segera mengambil langkah tegas, Kongo berpotensi kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah timurnya. Hal ini juga dikhawatirkan membuka jalan bagi aktor-aktor eksternal seperti Rwanda untuk memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut.

Krisis di Kongo kini memasuki babak baru. Bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan duel perebutan kedaulatan. Dengan M23 dan kelompok afiliasinya yang semakin agresif membangun institusi dan Kabila yang kembali muncul sebagai figur sentral, situasi di timur Kongo diprediksi akan terus memburuk dalam waktu dekat.

Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya negara-negara di kawasan Great Lakes Afrika, di mana kekuasaan sering kali ditentukan oleh kekuatan senjata, bukan melalui pemilu atau konstitusi. Kini, mata dunia tertuju ke Goma — kota yang terancam menjadi ibu kota negara tandingan di jantung Afrika.


About Admin2

Blog ini dibuat oleh Ketua PMPS periode ketiga secara pribadi untuk silaturrahmi. Usai pergantian kepengurusan,blog dipertahankan sebagai media bagi mempererat dan menyimpan memori yang baik.

0 comments:

Post a Comment

 

Ads