Powered by Blogger.

9/05/2025

Jalinan Rumit Dukungan untuk RSF Sudan di Afrika


Konflik di Sudan tidak hanya berkutat antara SAF dan RSF, melainkan juga membuka babak baru dalam diplomasi Afrika. Pertarungan dua kubu militer ini ternyata menarik perhatian banyak negara di sekitarnya, termasuk Ethiopia dan Sudan Selatan, yang sering dituduh memiliki kedekatan tertentu dengan RSF. Situasi ini kian mempersulit upaya perdamaian karena perbedaan sikap antara dukungan resmi, peran tidak langsung, dan kepentingan nasional masing-masing negara.

Ethiopia, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Abiy Ahmed, berulang kali menegaskan posisinya sebagai negara netral. Addis Ababa mengklaim hanya ingin mendorong perdamaian dan stabilitas kawasan. Namun, sejumlah perkembangan memperlihatkan bahwa netralitas itu tidak sepenuhnya steril dari kepentingan politik.

Pemerintah Ethiopia pernah menerima kunjungan pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, dalam sebuah lawatan langka ke luar negeri. Kehadiran itu menimbulkan pertanyaan besar: apakah Ethiopia sekadar membuka ruang diplomasi atau diam-diam memberi legitimasi politik kepada RSF. Banyak pengamat menilai, langkah itu sulit dipisahkan dari hubungan erat Ethiopia dengan Uni Emirat Arab yang diketahui menjadi salah satu pendukung utama RSF.

Selain faktor diplomasi, Ethiopia juga terhubung dengan Sudan melalui urusan perbatasan dan perdagangan, termasuk jalur ekonomi di wilayah aliran Sungai Nil. Ketegangan perbatasan dengan Khartoum serta isu Bendungan GERD membuat Addis Ababa lebih berhitung dalam menentukan sikap terhadap SAF maupun RSF. Dengan demikian, apa yang disebut “netralitas” Ethiopia sebenarnya sarat dengan kalkulasi strategis.

Di sisi lain, Sudan Selatan juga mengambil posisi resmi sebagai penengah. Juba mengklaim tidak berpihak dan justru aktif dalam forum IGAD serta Uni Afrika untuk mendorong tercapainya perundingan damai. Namun, di balik layar, laporan PBB dan berbagai lembaga independen menyebut adanya aktivitas logistik RSF yang menggunakan wilayah Sudan Selatan sebagai jalur pasokan.

Bahan bakar dan suplai senjata disebut masuk ke Darfur melalui perbatasan Sudan Selatan. Informasi ini tidak selalu melibatkan pemerintah pusat, melainkan lebih sering dikaitkan dengan peran individu atau oknum aparat lokal yang mendapat keuntungan dari perdagangan gelap. Kondisi tersebut menimbulkan dilema: pemerintah Sudan Selatan berusaha menjaga citra netral, tetapi realitas di lapangan justru menunjukkan adanya celah yang dimanfaatkan RSF.

Situasi menjadi semakin rumit ketika dikaitkan dengan posisi Sudan Selatan yang sangat bergantung pada jalur minyak mentah. Minyak dari Sudan Selatan harus melewati wilayah Sudan sebelum diekspor, sehingga pemerintah Juba tidak ingin merusak hubungan dengan salah satu pihak. Netralitas resmi dipertahankan demi kelangsungan ekonomi, meski fakta lapangan menunjukkan keterlibatan tak langsung dalam memperkuat RSF.

Hubungan lintas batas antara Sudan Selatan dan RSF juga berpotensi memicu ketidakstabilan baru. Jika keterlibatan individu tidak dikendalikan, Juba bisa kehilangan kendali terhadap perbatasan dan terjerumus dalam konflik yang lebih luas. Hal ini membuat Sudan Selatan berada dalam posisi serba salah.

Dari sudut pandang geopolitik, baik Ethiopia maupun Sudan Selatan memainkan peran ganda. Di satu sisi, mereka ingin tampil sebagai mediator di hadapan komunitas internasional. Di sisi lain, ada tekanan ekonomi, politik, dan keamanan yang membuat keduanya sulit benar-benar netral.

Kontradiksi itu terlihat jelas saat Ethiopia menegaskan komitmen pada perdamaian, tetapi tetap membuka pintu diplomasi bagi Hemedti. Begitu pula Sudan Selatan yang menolak disebut berpihak, namun perbatasannya menjadi jalur penting bagi suplai RSF. Dua kondisi ini memperlihatkan wajah diplomasi Afrika yang kompleks dan penuh lapisan kepentingan.

Dalam konteks regional, dukungan tidak resmi atau parsial terhadap RSF ini juga memunculkan kecurigaan dari SAF dan sekutunya. Mesir, misalnya, yang menjadi pendukung kuat SAF, memandang condongnya Ethiopia atau Sudan Selatan kepada RSF sebagai ancaman terselubung. Situasi ini berpotensi memperluas lingkaran konflik di luar Sudan itu sendiri.

Tidak bisa dipungkiri bahwa RSF mendapat keuntungan dari relasi tidak formal tersebut. Dukungan logistik, jalur pasokan, hingga ruang diplomatik membantu mereka tetap bertahan dalam menghadapi SAF yang lebih terstruktur secara kelembagaan. Dengan kata lain, keberlangsungan perang di Sudan turut ditentukan oleh faktor eksternal di kawasan.

Keterlibatan Ethiopia dan Sudan Selatan, meski tidak terang-terangan, menunjukkan betapa rapuhnya tatanan politik Afrika Timur. Setiap negara memiliki kepentingan nasional yang seringkali tidak sejalan dengan upaya perdamaian kolektif. Netralitas pun akhirnya menjadi konsep yang cair, mudah disesuaikan dengan kebutuhan pragmatis.

Jika Ethiopia benar-benar ingin berperan sebagai penengah, konsistensi diperlukan agar tidak ditafsirkan sebagai dukungan terselubung. Demikian pula Sudan Selatan perlu mengendalikan aparatnya agar jalur suplai ilegal tidak memperburuk citra resmi mereka sebagai mediator. Tanpa langkah ini, klaim netralitas akan semakin sulit dipercaya.

Konflik Sudan sendiri sudah menimbulkan krisis kemanusiaan besar dengan jutaan pengungsi dan ribuan korban jiwa. Dukungan terselubung dari negara tetangga hanya akan memperpanjang penderitaan warga sipil. Inilah sebabnya peran Ethiopia dan Sudan Selatan sangat menentukan arah perang, meski mereka mengaku tidak ikut campur.

Komunitas internasional kini mulai menyoroti peran negara-negara tetangga. PBB dan Uni Afrika diminta menekan Ethiopia serta Sudan Selatan agar konsisten dalam sikap dan benar-benar bertindak sebagai mediator. Tanpa itu, proses perdamaian akan terus menemui jalan buntu.

Kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik domestik sering membuat negara tetangga terjebak dalam dukungan diam-diam. RSF memanfaatkan kondisi ini dengan cerdik untuk memperpanjang daya tahannya. Maka tidak mengherankan jika konflik sulit dihentikan meski sudah banyak perundingan dilakukan.

Akhirnya, baik Ethiopia maupun Sudan Selatan dihadapkan pada pilihan sulit: tetap bermain di area abu-abu atau berani mengambil sikap jelas. Kedua opsi ini memiliki risiko, tetapi ketidakjelasan justru semakin membahayakan stabilitas kawasan.

Dengan segala kontradiksi itu, konflik Sudan bukan lagi sekadar perang internal. Ia telah menjadi cermin dari tarik-menarik kepentingan regional, di mana netralitas hanyalah kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan secara nyata.

Published: By: Admin2 - 9/05/2025

6/27/2025

Goma di Ambang Menjadi Ibu Kota Oposisi Kongo

Ketegangan di Republik Demokratik Kongo kembali memanas setelah kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan pemberontak M23, didukung Rwanda, terus memperluas pengaruhnya di wilayah timur negara itu. Kawasan North Kivu dan South Kivu kini berada dalam situasi darurat setelah para pemberontak berhasil menguasai sejumlah kota penting, termasuk Goma dan Bukavu. Situasi ini dilaporkan langsung oleh Kepala Misi Stabilisasi PBB di Kongo (MONUSCO), Bintou Keita, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di New York pekan ini.

Keita menjelaskan bahwa pemberontak tak hanya merebut wilayah, tetapi juga berupaya mendirikan pemerintahan tandingan. Beberapa pekan terakhir, kelompok itu menunjuk gubernur dan dua wakil gubernur di Bukavu, sekaligus menempatkan pejabat keuangan dan pertambangan di North Kivu. Hal ini menunjukkan ambisi serius pemberontak untuk mengelola kawasan secara otonom, memisahkan diri dari pemerintah pusat di Kinshasa.

MONUSCO, yang hadir di Kongo sejak 2010 dengan mandat melindungi warga sipil dan mendukung pemerintah mengatasi ancaman kelompok bersenjata, tengah menghadapi dilema pelik. Sebelumnya, pemerintah Kongo sempat meminta penarikan pasukan MONUSCO dari South Kivu pada Juni 2024, namun kini malah memohon perpanjangan mandat hingga akhir 2025 akibat eskalasi konflik.

Meski upaya perdamaian terus dijalankan, realita di lapangan berkata lain. Pemberontak M23, yang mengklaim membela kepentingan etnis Tutsi Kongo dan didukung militer Rwanda, berhasil merebut banyak wilayah strategis. Mereka bahkan membentuk struktur administrasi dan sistem perpajakan tersendiri, meniru pola lama saat Second Congo War di awal 2000-an.

Situasi di Goma saat ini bahkan disebut-sebut sebagai cikal bakal ibu kota negara tandingan. Pidato-pidato publik para pemimpin pemberontak menyerukan pemutusan total dengan pemerintah pusat yang mereka tuding dipenuhi praktik nepotisme dan penindasan. Mereka menggaungkan wacana pemerintahan patriotik berbasis rakyat bersenjata.

Ini bukan kali pertama pola seperti ini terjadi di Kongo. Saat perang saudara sebelumnya, Goma sempat menjadi pusat kekuasaan kelompok RCD yang juga didukung Rwanda. Kala itu, mereka membentuk institusi sendiri, menarik pajak, dan menjalankan pemerintahan tanpa restu Kinshasa. Kini, pola itu terulang, dengan nuansa lebih terstruktur dan ambisius.

Perbedaan utamanya, kali ini mantan Presiden Joseph Kabila diduga menjadi dalang di balik bangkitnya kekuatan pemberontak di timur. Setelah kehilangan kekebalan politik dan menghadapi ancaman dakwaan pengkhianatan serta kejahatan perang, Kabila disebut-sebut menjadikan Goma sebagai benteng perlindungan politik dan militernya.

Tradisi di Kongo memang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaan bersenjata kerap menjadi tempat berlindung bagi tokoh politik yang terjerat masalah hukum. Sejarah mencatat bagaimana Jean-Pierre Bemba dan Bosco Ntaganda pernah berlindung di zona militer sebelum akhirnya menyerah atau ditangkap. Kini, Kabila tampaknya mengikuti jejak serupa, memanfaatkan lemahnya kontrol pemerintah pusat di wilayah timur.

Posisinya di Goma membuat upaya penangkapan Kabila sangat berisiko memicu perang terbuka. Ia secara efektif menggunakan ketidakberdayaan negara untuk melindungi dirinya dari hukum yang seharusnya mengadilinya. Ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas nasional dan kredibilitas pemerintahan Presiden Félix Tshisekedi.

Kabila bahkan mulai tampil kembali ke publik sebagai pemimpin gerakan pembebasan, menggema kembali retorika revolusioner ayahnya yang dulu merebut kekuasaan lewat jalur bersenjata. Dengan menyatukan kekuatan bersama M23, yang kini menamai dirinya "tentara rakyat", Kabila berupaya membangun legitimasi politik di wilayah kekuasaan pemberontak.

Konflik ini pun bukan lagi sekadar perebutan wilayah, tetapi pertempuran dua legitimasi kekuasaan: pemerintahan Kinshasa yang lemah pasca-2018 dan pemerintahan tandingan di timur yang mengandalkan senjata. Kedua kubu kini sama-sama memproklamasikan diri sebagai wakil sah rakyat Kongo, memicu ancaman perpecahan negara.

Bergesernya Kabila ke kubu pemberontak sekaligus memperlihatkan kegagalan total transisi politik di Kongo pasca-2018. Koalisi rapuh antara Kabila dan Tshisekedi yang pernah menjanjikan stabilitas nasional kini telah runtuh, menyisakan kekacauan politik yang dimanfaatkan kelompok-kelompok bersenjata.

Lebih dari sekadar ancaman keamanan, situasi ini mengancam fondasi negara Kongo sebagai sebuah republik yang utuh. Bila Goma benar-benar bertransformasi menjadi ibu kota pemerintahan pemberontak, bukan tidak mungkin Kongo akan kembali ke era negara-negara mini bersenjata di awal 2000-an, yang pernah memecah belah wilayahnya.

Para analis menilai, jika komunitas internasional, khususnya PBB dan Uni Afrika, tidak segera mengambil langkah tegas, Kongo berpotensi kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah timurnya. Hal ini juga dikhawatirkan membuka jalan bagi aktor-aktor eksternal seperti Rwanda untuk memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut.

Krisis di Kongo kini memasuki babak baru. Bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan duel perebutan kedaulatan. Dengan M23 dan kelompok afiliasinya yang semakin agresif membangun institusi dan Kabila yang kembali muncul sebagai figur sentral, situasi di timur Kongo diprediksi akan terus memburuk dalam waktu dekat.

Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya negara-negara di kawasan Great Lakes Afrika, di mana kekuasaan sering kali ditentukan oleh kekuatan senjata, bukan melalui pemilu atau konstitusi. Kini, mata dunia tertuju ke Goma — kota yang terancam menjadi ibu kota negara tandingan di jantung Afrika.


Published: By: Admin2 - 6/27/2025

6/22/2025

Ini Daftar Negara yang Pernah Diserang Instalasi Nuklirnya

Serangan Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordo, dan Isfahan menandai kelanjutan dari tradisi panjang penghancuran instalasi nuklir oleh kekuatan besar. Dalam sejarah modern, ini bukan kali pertama infrastruktur nuklir negara-negara berkembang diserang. Sebelumnya, sejumlah fasilitas nuklir penting di Timur Tengah telah menjadi sasaran serangan militer langsung, yang menggambarkan betapa sensitif dan strategisnya pengembangan energi nuklir di kawasan konflik.

Yang paling terkenal adalah Operasi Opera pada tahun 1981, ketika Israel menyerang reaktor nuklir Osirak milik Irak dengan jet F-16 dan F-15. Serangan itu dilakukan sebelum reaktor mulai beroperasi penuh, dengan tujuan mencegah Saddam Hussein mengembangkan senjata nuklir. Serangan itu menuai kecaman internasional tetapi dianggap berhasil secara strategis oleh Israel dan sekutunya.

Pada tahun 2007, Israel kembali melakukan serangan serupa dalam Operasi Orchard, kali ini menargetkan fasilitas nuklir rahasia di Deir ez-Zor, Suriah. Reaktor tersebut diduga dirancang dengan bantuan Korea Utara dan berada dalam tahap konstruksi. Serangan itu dilakukan secara diam-diam dan baru dikonfirmasi beberapa tahun kemudian oleh pihak intelijen Barat dan IAEA.

Iran sendiri sebelumnya juga pernah menjadi sasaran sabotase siber dan fisik terhadap program nuklirnya. Pada tahun 2010, virus Stuxnet yang dikembangkan oleh AS dan Israel merusak ribuan sentrifugal di Natanz. Sejak saat itu, sejumlah insiden misterius seperti kebakaran, ledakan, dan pembunuhan ilmuwan nuklir terjadi, termasuk pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh pada 2020 yang diduga kuat dilakukan oleh Mossad.

Selain Irak, Suriah, dan Iran, ada juga laporan mengenai sabotase program nuklir Libya pada awal 2000-an. Meski tidak melalui serangan langsung, tekanan dan pengawasan intelijen internasional membuat Libya akhirnya menyerahkan seluruh program nuklirnya secara sukarela pada tahun 2003. Di Afrika Selatan, program senjata nuklir juga dihentikan secara sepihak oleh pemerintah pasca-apartheid, tetapi dalam suasana damai dan bukan karena intervensi militer.

Fasilitas nuklir lain yang mendapat tekanan militer atau pengawasan ketat termasuk Yongbyon di Korea Utara, yang sempat ditargetkan dalam rencana serangan AS sebelum krisis diplomatik mereda. Pakistan dan India juga terus berada dalam radar pengawasan, meski keduanya sudah menjadi negara nuklir de facto. Namun belum pernah ada serangan langsung ke fasilitas mereka karena pertimbangan dampak strategis yang lebih luas.

Serangan terbaru ke Natanz, Fordo, dan Isfahan tampaknya dilakukan dengan kombinasi rudal jelajah, drone kamikaze, dan bantuan intelijen dari mitra regional oleh Israel dan kemudian oleh AS. 

Sebagai respons, pemerintah Iran menyebut aksi militer terhadap semumlah fasilitas nuklirnya sebagai penghianatan diplomatik, pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara dan hak Iran atas teknologi nuklir sipil. Mereka menyatakan bahwa serangan ini menghapus seluruh kredibilitas sistem non-proliferasi internasional, terutama karena dilakukan tanpa resolusi Dewan Keamanan PBB. Teheran kini dihadapkan dengan mempertimbangkan opsi keluar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) atau opsi diam.

Pilihan sulit ini bisa saja akan membawa Iran ke jalur yang ditempuh Korea Utara pada 2003, yang keluar dari NPT setelah menuding AS melanggar kesepakatan kerjasama energi. Korea Utara kemudian mengusir seluruh inspektur IAEA dan melanjutkan program nuklirnya secara tertutup. Tiga tahun kemudian, Pyongyang menguji coba bom nuklir pertamanya, mengubah peta keamanan Asia Timur secara drastis.

Jika Iran meniru jalur ini, maka komunitas internasional akan kehilangan akses penuh terhadap aktivitas nuklirnya. Seluruh sistem pengawasan IAEA akan dihentikan, dan Teheran akan memiliki kebebasan untuk memperkaya uranium hingga ke tingkat senjata tanpa pengawasan eksternal. Dengan kemampuan teknologi yang dimiliki saat ini, Iran dapat mempercepat langkah menuju pengembangan senjata nuklir dalam hitungan bulan, bukan tahun.

Ketegangan dengan Israel akan meningkat tajam. Israel telah berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir, dan jika perlu, akan melakukan tindakan militer lebih lanjut untuk menggagalkan ambisi tersebut. Skenario konflik regional besar-besaran terbuka lebar, meskipun Iran akan memilih bungkam.

Published: By: Admin2 - 6/22/2025

5/07/2025

Ketika Eropa tak Mau Lagi Bergantung ke Perlindungan Keamanan dari AS


Pernyataan Perdana Menteri Polandia, Donald Tusk, pada awal Maret lalu kembali menggugah kesadaran akan urgensi kemandirian pertahanan Eropa. Dalam pidatonya, Tusk menyebut bahwa sangat tidak masuk akal apabila 500 juta warga Eropa masih harus bergantung pada 300 juta warga Amerika untuk perlindungan dari 140 juta warga Rusia. Ungkapan itu bukan sekadar kritik, melainkan seruan tegas agar Eropa bangkit dari ketergantungan historis terhadap Amerika Serikat dalam soal keamanan.

Sejak akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat telah menjadi penjamin utama keamanan Eropa melalui NATO. Namun, realitas geopolitik saat ini menuntut pendekatan baru. Ketergantungan yang terus berlanjut terhadap perlindungan Amerika bukan hanya membuat Eropa rentan secara strategis, tapi juga secara politis. Apalagi, wacana Donald Trump untuk menarik diri dari NATO atau mengaitkan pertahanan sekutu dengan kepentingan perdagangan domestik menambah ketidakpastian tersebut.

Tusk menyampaikan fakta yang sulit dibantah: secara demografi dan potensi militer, Eropa jauh lebih unggul dibanding Rusia. Negara-negara Uni Eropa ditambah Inggris dan Norwegia memiliki populasi gabungan lebih dari 500 juta jiwa. Bila digabungkan dengan Turki, Ukraina, dan Kanada, angka itu hampir mencapai 700 juta. Ini adalah kekuatan yang sangat besar, baik dalam jumlah maupun potensi.

Dari sisi personel militer, kawasan tersebut memiliki sekitar tiga juta tentara aktif dan 1–1,5 juta pasukan cadangan. Ini berarti bahwa secara matematis, Eropa tidak memiliki alasan untuk merasa gentar terhadap ancaman militer Rusia. Namun, keunggulan jumlah bukan satu-satunya penentu kemenangan. Yang dibutuhkan Eropa kini adalah koordinasi strategis, keberanian politik, dan investasi nyata di sektor pertahanan.

Ketimpangan ini juga mencerminkan krisis kepemimpinan dan kurangnya visi jangka panjang di antara negara-negara Eropa. Selama bertahun-tahun, banyak negara lebih fokus pada pembangunan sosial dan ekonomi domestik sambil menyerahkan urusan keamanan kepada Washington. Padahal, dalam dunia multipolar saat ini, kekuatan militer adalah bagian integral dari kedaulatan dan posisi tawar internasional.

Dalam situasi global yang semakin tidak stabil, Eropa tak bisa lagi bersembunyi di balik payung Amerika. Invasi Rusia ke Ukraina telah membuktikan bahwa ancaman terhadap kedaulatan suatu negara bukanlah bayang-bayang masa lalu. Ancaman tersebut nyata dan bisa menyasar negara mana pun, terutama di perbatasan timur benua.

Bahkan, jika AS memutuskan untuk tetap bertahan di NATO, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk stagnasi Eropa dalam penguatan militernya. Ketergantungan adalah kelemahan, dan dalam konteks geopolitik, kelemahan bisa memicu agresi. Eropa harus menata ulang struktur pertahanannya, memperkuat industri pertahanan lokal, dan mengembangkan sistem komando yang independen.

Langkah ini tidak berarti memusuhi Amerika, melainkan memperkuat kemitraan transatlantik dengan posisi yang lebih seimbang. Dalam hubungan internasional, mitra sejati adalah mereka yang mampu berdiri sendiri, bukan yang terus bergantung. Kepercayaan Amerika terhadap Eropa justru akan meningkat jika Eropa menunjukkan kemampuan mempertahankan dirinya sendiri.

Momentum untuk berubah kini ada. Seruan Donald Tusk adalah alarm yang tak bisa lagi diabaikan. Negara-negara besar seperti Jerman, Prancis, dan Italia harus memimpin upaya ini. Investasi dalam alutsista, teknologi pertahanan, dan sistem peringatan dini harus dipercepat dan diprioritaskan dalam anggaran negara.

Masalahnya bukan sekadar pada jumlah pasukan atau anggaran, tetapi juga soal mentalitas. Eropa harus keluar dari paradigma pasif dan menunjukkan bahwa mereka bukan hanya penerima keamanan, tapi juga penyedia keamanan bagi dunia. Ini penting tidak hanya untuk keamanan internal, tetapi juga untuk stabilitas global.

Kerja sama dalam kerangka Uni Eropa harus diperluas ke ranah militer secara konkret. Pembentukan pasukan reaksi cepat Eropa adalah langkah awal, tetapi harus diikuti oleh integrasi sistem komando dan logistik. Kebijakan luar negeri dan pertahanan bersama juga harus disusun lebih tegas dan terkoordinasi.

Ujian kemandirian Eropa akan terus datang, baik dalam bentuk krisis energi, migrasi, maupun konflik bersenjata. Ketangguhan menghadapi semua itu bergantung pada seberapa siap Eropa berdiri di atas kakinya sendiri. Tak ada lagi ruang untuk bergantung pada keputusan di Gedung Putih atau Kongres AS.

Kesadaran geopolitik harus menembus hingga ke masyarakat sipil. Warga Eropa harus tahu bahwa pertahanan bukan hanya urusan militer, tetapi juga fondasi dari semua kebebasan dan kemakmuran yang mereka nikmati hari ini. Partisipasi politik, dukungan anggaran, dan kesediaan berkorban adalah bagian dari harga kedaulatan.

Penguatan sektor pertahanan juga akan berdampak positif bagi industri dalam negeri. Dengan mengembangkan teknologi militer sendiri, Eropa tidak hanya mengurangi ketergantungan pada pihak luar, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan kemajuan teknologi yang bisa berdampak pada sektor sipil.

Perubahan ini tentu tidak mudah dan tidak bisa instan. Namun, semakin lama Eropa menunda, semakin besar pula risiko yang harus ditanggung. Dunia pasca-pandemi dan pasca-Ukraina adalah dunia yang berbeda, dunia yang menuntut kesiapan militer sebagai bagian dari eksistensi.

Donald Tusk telah melempar bola ke lapangan Eropa. Kini tinggal bagaimana para pemimpin benua menanggapinya. Apakah mereka akan terus menggantungkan nasib pada pemilu Amerika, atau mulai menulis ulang masa depan pertahanan Eropa dengan tangan mereka sendiri?

Sejarah tidak selalu berpihak pada yang kuat secara ekonomi atau budaya. Ia berpihak pada mereka yang siap bertindak ketika momen menuntut keberanian. Dan momen itu, bagi Eropa, adalah sekarang.

Apakah ini akan menjadi era kebangkitan pertahanan Eropa, atau hanya satu babak retorika tanpa aksi? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan benua ini dalam dekade-dekade mendatang.


Baca selanjutnya

Published: By: Admin2 - 5/07/2025
 

Ads