Salah satu contoh masjid tua di Nusantara |
Barus, misalnya, dengah disyahkan sebagai titik nol masuknya Islam, dipastikan banyak Masjid di tempat tersebut namun sudah hilang jejaknya. Lokasinya yang strategis, membuat Barus rebutan berbagai kekuatan, sehingga sering terjadi bumi hangus dari pihak yang bertikai.
Terakhir oleh pihak warga sendiri saat mengusir penjajahan Belanda.
Walapun Islam sudah masuk pada awal, tidak banyak yang tersisa dari peninggalan masjid di era ini. Sebutlah ini Era Awal. Karena tidak mungkin ada komunitas Islam atau pedagang Muslim tapi tak ada masjidnya.
Pada Era Kedua, bila bisa disebut begitu, ditandai dengan era Kebangkitan Nusantara. Yaitu kira-kita tahun 1200-1800an.
Pada era ini, manuskrip paling lama (sebelum ditemukan bukti lain) yang menyatakan secara khusus adanya Masjid di Tanah Batak adalah Sejarah Raja-Raja Barus. Yakni soal pengembaraan Ibrahimsyah ke Bakkara dengan seribu pengikutnya. Sebelum meninggalkan Bakkara menuju Barus, terlebih dahulu dia mendirikan Masjid yang kemudian menjadi tempat Sisingamangaraja.
Makanya banyak yang menilai bahwa Balepasogit merupakan asal kata Balemasojid atau bangunan masjid, yang sampai sekarang tradisinya masih menghadap ke barat alias kiblat.
Pada Era Ketiga, atau era Kebangkitan Nasional dari awal tahun 1900-an sampai sekarang.
Pada era ini sudah banyak sejarah masjid yang diketahui. Khususnya yang dibangun pada era itu. Dan tidak tertutup kemungkinan sebelumnya sudah ada di daerah tertentu.
Untuk diketahui, masjid di tanah Batak ada bebrapa jenis. Yang paling banyak adalah Masjid yang berfungsi sebagai musholla, biasanya di persinggahan atau di pemandian.
Bentuknya biasanya dari batu yang agak datar dan biasanya ada tanda untuk menyebut batas-batas sucinya.
Masjid keluarga atau huta (masjid desa). Karena sebuah huta biasanya dihuni satu keluarga besar, maka sering disebut sebagai masjid keluarga.
Bisanya ini dibangun keluarga pedagang, sufi atau guru.
Jenis berikutnya dalah Masjid Raya yang bisanya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh umat.
Penyebab punahnya masjid-masjid kuno di tanah Batak adalah:
1. Tidak ada kaderisasi ulama pendiri.
Misalnya pendirinya merupakan tokoh setempat, tapi profesinya sebagao pedagang tidak diteruskan oleh anak dan keturunanya. Misalnya, karena menjadi pegawai negeri yang berpindah-pindah dll.
2. Keturunannya murtad
Misalnya pendiri masjdi atau pemberi wakaf masjid murtad. Biasanya tak lagi mengurus masjid dan dibiarkan sampai busuk. (karena terbuat dari rumbia atau kayu)
Tapi ini tidak selalu apa yang terjadi. Ada juga keturunan tersebut menyerahkan kepada umat Islam karena ketika kakeknya mewakafkannya dalam posisi sebagai Muslim.
3. Konflik keluarga/pengurus
Beriku adalah beberapa masjid kuno atau tua di tanah Batak:
1. Masjid Ibrahimsyah Sitompul (sumber)
2. Masjid Alhadhonah, Balige (baca)
Suatu hari, tanggal 3 maret 1910 seorang pedagang, pemeluk agama Islam bernama Djahoeat Napitupulu (Ayah kandung Mara Qodim Napitupulu), datang ke Balige. Beliau berasal dari Sibolga. Kemudian, bersama tokoh Islam lainnya, mengembangkan syiar agama di kota yang kental nuansa budaya adat Batak dan filosophy dalihan na tolu.
Diduga, orang pertama yang membawa ajaran agama Islam ke Tobasa, adalah Lobe Sangajo Napitupulu dari Balige, dan Lobe Leman Tampubolon dari Sibala Hotang. Keduanya merupakan perintis dan pembawa ajaran Islam di kota ini, sembari menjalankan usahanya, sebagai pedagang pada masa itu.
Orang yang mula-mula masuk menjadi pemeluk agama Islam, yaitu Thomas gelar Djabadullah Napitupulu, Mandjo gelar Djalendo Napitupulu dan Lobe Taat Napitupulu. Kemudian masuk jugalah Johannes Nainggolan (H. M. Nainggolan), menjadi Imam di masjid Al Hadhonah. Asalnya dari Sosor Tangga Siahaan Balige.
Setelah itu, Bapak Lobe Tinggi Pardede (H. A. Halim Pardede) masuk memeluk agama Islam. Kemudian, diberangkatkan mengaji ke Padang Sidempuan selama 3 tahun. Selanjutnya, ajaran agama ini berkembang di Kabupaten Simalungun, tepatnya di Kecamatan Parapat.
Melihat perkembangan ajaran agama Islam yang cukup pesat saat itu, masuklah Djaumar Simanjuntak (H.Umar). Beliau ini dulunya berasal dari keluarga datu-datu. Seterusnya, mereka mengajak Dja Solim Simanjuntak (H. Solim), Dja Isak gelar guru Lempang Tampubolon, Dja Padang Pangaribuan dan Dja Sudin Hutagaol dari Mejan. Beliau-beliau inilah yang kemudian menjadi muballigh dan mendirikan masjid yang ada di Mejan sekarang. Lalu, masuklah H. Selamat dari Simanjuntak Hutabulu.
Begitulah, Agama Islam terus menerus diperjuangkan. Hingga mencapai 150 rumah tangga. Meliputi Mejan, Simarmar, Parsuratan, Simanjuntak, Hinalang, Tambunan dan Kota Balige sekitarnya. Atas upaya yang dilakukan Alm. Lobe Leman Tampubolon, didapatlah izin dari Residen Tapanuli tertanggal 2 Januari 1918, untuk mendirikan masjid. Sayang, beliau tidak sempat membangunnya, karena dipanggil Allah swt, tanggal 22-3-1922.
Perjuangan untuk mendirikan masjid tetap diteruskan. Yaitu, dengan terbentuknya suatu organisasi Komite Masjid Balige, tahun 1923. Anggotanya yaitu, H. A. Manap (sebagai Presiden), H. A.H. Pardede (sebagai Vice Presiden), H. M. Nawawi Nainggolan (sebagai Sekretaris dan Kasir), H.Selamat dan H.Umar (sebagai Anggota)
Alm. Mara Qodim Napitupulu (gelar Ompu si Rani Napitupulu), dulu sering bertindak sebagai Imam, ataupun khotib di Masjid ini. Bersama beberapa tokoh dan sesepuh lainnya, mengumandangkan syiar agama. Tentu, dengan keterbatasan serta kemampuan yang mereka miliki. Pesan “amar ma'ruf nahin munkar” disampaikan, mengajak berbuat kebajikan, dengan senantiasa menjauhi kezholiman.
Diperkirakan tahun 1890, atau kemungkinan beberapa tahun sebelumnya, telah berdiri Musholah di Balige. Tempat beribadah generasi Lobe Sangajo Napitupulu. Selanjutnya, beliau meminta kepada ayahandanya, Raja Marsait Bodil sebidang tanah berukuran 15x20m2 untuk didirikan Musholah.
Dari sinilah kemudian, bangunan musholah berkembang menjadi Masjid. Waktu itu, panitianya Pak Untung (bertugas sebagai kepala cabang BNI Balige). Sekretaris Ustz. Arso, SH (sekarang Hakim Pengadilan Agama Medan). Sementara, Bendahara adalah H.A. Harahap. Berkisar tahun1964 Ustz. Syamsudin Simangunsong, menjadi Imam tetap di Masjid Al Hadonah yang merupakan masjid tertua di kota ini. Mereka adalah penggagas, sekaligus pelaksana ulet dalam membangun.
3. Masjid Lae Toras (sumber)
Masjid Lae Toras dalam latar belakang milik keluarga setempat |
4. Mushalla Guru Katib Sibarani (sumber)
5. Masjid Oppu Bindu Hutagalung (1820)
6. Masjid Siniang
Masjid ini baru dipugar tahun 1990-an. Sebelumnya adalah rumah yang secara periodik dilakukan majelis taklim atau pengajian keluarga Muslim di Siniang Pakkat.
Cara melestarikan masjid-masjid kuno
1. Perlu ada upaya untuk memugar tanpa mengubah bentuk asli, dengan seijin pewakaf atau pengurus masjid.
2. Ada baiknya setiap tahun diadakah perayaan bertepatan dengan hari besar untuk memakmurkan kembali masjid secara keliling dan periodik
3. Dll yang dianggap perlu
About Admin2
Blog ini dibuat oleh Ketua PMPS periode ketiga secara pribadi untuk silaturrahmi. Usai pergantian kepengurusan,blog dipertahankan sebagai media bagi mempererat dan menyimpan memori yang baik.
0 comments:
Post a Comment